• 083836455275
Facebook-f
Instagram
Youtube
  • Home
  • Hompimpaa Kulwap
  • Antara Anak, Buku, dan Membaca

Antara Anak, Buku, dan Membaca

REV FLYER KULWAP LITERASI
Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
  • Hompimpaa
  • September 8, 2020

Informasi

Narasumber:
Dr. Yona Prima Desi, M.Hum
Tgl Kulwap:
August 15, 2020 8:00 pm
Media:

Resume

Materi Pembuka


Baca Bikin Cerdas Anak, Kata Siapa?

Menikmati sore ditemani segelas teh hangat, Naya dan Nermi diskusi ringan seputar buku yang tengah mereka baca, Taiko, karya Eiji Yoshikawa.

Ada beberapa hal yang muncul dalam cerita, yang menurut pengetahuan Nermi, faktual; bagaimana proses kelahiran seorang Musashi. Nermi juga mengulas teks di dalam buku tersebut, komposisi antara deskripsi, narasi, dan dialog.

Sayangnya, Naya tidak serta-merta mempercayai alih-alih menganggap itu lebih banyak sebagai bualan. Nermi berusaha meyakinkan Naya dengan merujuk beberapa informasi digital.

Persoalannya, Naya menanggapi dengan kalimat, ah, masa sih? Hal kecil tersebut berubah perseteruan antara mereka. Saya hanya geleng-geleng kepala, apalagi melihat wajah Nermi yang sedikit dongkol karena ia seakan muncul sebagai sosok yang gemar memanipulasi banyak hal.

Saya juga teringat ketika Naya bertanya, mengapa Tolkien menggunakan istilah buku satu dan buku dua pada satu bundel buku yang berjudul The Lord of The Ring. Seorang sahabat yang saat itu sedang bersama kami, mencoba menjelaskan bahwa kronologi waktu atau peristiwa yang jadi alasan pembagian tersebut. Naya tidak serta-merta percaya. Ia masih melontarkan kalimat, Masa begitu sih? Hingga akhirnya ia menemukan sendiri jawaban, langsung dari teks yang ia baca.

Akhir-akhir ini, Naya sering mempertanyakan banyak hal, bahkan beberapa informasi yang kami sampaikan. Naya tidak seperti biasanya, ketika saya dan Nermi jadi sumber dari segala ‘kebenaran’ bagi Naya. Ia cenderung bersikap kritis, menaruh curiga terhadap informasi yang dia terima. Kami jadi bertanya, apa ketidakpercayaan Naya itu dikarenakan aktivitas membacanya? Jika iya, apakah kami perlu mengkaji ulang kebiasaan membaca Naya? Atau sikap kritis itu terbangun bukan dikarenakan membaca, melainkan lebih pada aktivitas lain di luar membaca?

Kita sering mndengar “doktrin” jika membaca itu baik dan aktivitas membaca memberi manfaat bagi individu yang melakukannya secara kontinu. Hal itu juga jadi semacam mitos yang diamini dan diyakini dari generasi ke generasi. Tak terkecuali di Indonesia. Mitos tersebut jadi landasan kuat berbagai lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan dalam merumuskan kebijakan. Kabarnya, semakin tinggi frekuensi membaca individu, maka akan semakin cerdas individu tersebut. Cerdas, suatu kata yang bagi saya sangat abstrak , dikotomis, dan menjadi pertanyaan besar dalam konteks membaca: cerdas yang bagaimana, indikator apa yang digunakan untuk mengukur kecerdasan tersebut? Apakah bisa dikatakan cerdas, ketika anak sudah menyelesaikan membaca banyak judul buku, atau cerdas ketika anak mampu menjadikan semua pengetahuan yang dia peroleh dari buku menjadi lebih kontekstual?

Saya kembali teringat sebuah puisi Naya yang berjudul Di Kebun Binatang (http://www.duniakecilnaya.com). Seingat saya puisi itu Naya tulis sepulang kami berkunjung ke kebun binatang di kota Bandung, Jawa Barat. Lewat puisi tersebut, Naya mencoba menyampaikan kegundahan hatinya tentang nasib para hewan di kebun binatang yang semestinya bisa hidup bebas di habitat mereka. Di lain hari, Naya pernah melakukan protes keras kepada Nermi atas keteledorannya memarkir motor di trotoar. Om, trotoar itu bukan tempat parkir! ujarnya ketus. Atau ketika Nermi membuang puntung rokoknya sembarangan, Naya spontan memungut puntung tersebut, memegangnya sampai menemukan tempat sampah, sembari memarahi Nermi.

Apakah itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kecerdasan akibat membaca atau justru bukan? Jika iya, mengapa ketika gerakan membangun minat baca semakin masif, tidak dibarengi dengan sikap kritis anak terhadap berbagai fenomena yang muncul? Anak semakin gemar membaca sementara kepeduliannya terhadap lingkungan alam dan sosialnya bisa dikatakan nihil, hingga muncul pertanyaan, kenapa sih, anak-anak Indonesia tidak bisa sekritis Gretta atau the egg boy?

Menurut pendapat saya, sebab kecerdasan bukan hanya perkara membaca. Membaca hanya salah satunya saja, yang dalam kasus Naya, hal-hal lain di luar membaca justru sangat membantunya dalam melihat, mengeksplorasi, menganalisa, mengkritisi, hingga mereproduksi pengetahuan yang dia miliki. Tentu puisi Naya lahir tidak semata karena Naya suka membaca buku ensiklopedia fauna, melainkan dibangun oleh pengalaman empiriknya ketika berkunjung ke kebun binatang dan berbagai diskusi yang kerap kami bangun bersama Naya. Dua hal tersebut menjadi fondasi Naya dalam menggunakan ornamen untuk membangun metafora dan sikap kritis melihat fenomena. Sementara bahan bacaan sebagai bahan baku lainnya yang dimanfaatkan Naya dalam memperkuat kemampuan menggunakan teks untuk menyampaikan gagasannya.

Dari mata awam saya, ketika doktrin bahwa membaca bermanfaat dan bisa membuat cerdas dicekoki, segala hal yang berhubungan dengan aktivitas membaca semata ditujukan untuk meningkatkan jumlah orang yang membaca dan peningkatan kuantitas bahan bacaan. Sedangkan hal krusial lain yang seharusnya mendapat porsi sama menjadi terabaikan; indikator pengukur kecerdasan, bahan bacaan yang lebih kontekstual, atau praktik membaca yang bisa membangun kecerdasan.

Sayangnya yang diketahui publik sekadar; membaca membuat masyarakat cerdas dan akan mendorong kualitas bangsa. Sehingga mereka yang tidak suka membaca dinilai jadi penghambat pembangunan. Tentu saja hal tersebut ada baiknya. Misal, jadi menjamurnya berbagai perpustakaan alternatif, kegiatan yang bertujuan mendekatkan masyarakat dengan sumber bacaan melalui berbagai sarana yang berasal dari lingkungan masing-masing, atau produksi bahan bacaan yang semakin tinggi.

Tetapi sejauh ini tujuannya relatif sama; meningkatkan kuantitas masyarakat Indonesia yang membaca. Lantas bagaimana dengan kualitas membaca, terutama jika dihubungkan dengan membaca yang kontekstual, atau kecerdasan yang menjadi salah satu tujuan utama membaca?

Apakah memang buku yang dibaca anak mampu membuat anak menjadi kreatif dan kritis untuk memecahkan masalahnya sehari-hari? Apakah anak-anak sudah memiliki simpati dan empati terhadap berbagai fenomena sosial? Apakah bahan bacaan sudah mampu bernilai sosial dan ekonomi bagi anak-anak dann lingkungan terdekatnya? Jika belum, apa yang salah dengan kegiatan membaca yang kita gembar-gemborkan selama ini?

Hal tersebut menurut pendapat saya karena kecerdasan sama abstraknya dengan aktivitas membaca itu sendiri, dalam pemahaman praktik membaca yang kita yakini lebih difokuskan pada kondisi kognitif individu. Selain itu, membaca cenderung dinilai sebagai kegiatan memasukkan sesuatu yang berasal dari luar ke dalam pikiran manusia. Membaca menempatkan kecerdasan bersifat pasif dan bersumber dari luar individu belaka. Hal-hal lain di luar itu, misalnya apa yang dibaca, motif membaca, tingkat intelegensi, gender, sosial budaya, atau pun aktivasi dalam proses membaca seringkali diabaikan. Sehingga kemudian menjadi wajar ketika kebijakan cenderung bertolok ukur dari seberapa banyak orang Indonesia yang membaca atau seberapa banyak buku yang sudah dibaca. Tidak pada apa yang bisa dihasilkan dari membaca atau bagaimana individu yang gemar membaca mampu merekonstruksi berbagai fenomena yang ada?

Saya mencoba kembali pada pendekatan yang kami praktikkan dalam kegiatan literasi di Komunitas Sahabat Gorga: bermain, eksplorasi teater, senirupa, dan sastra. Seperti halnya berteater, membaca pun mewakili tiga hal: olah raga, olah rasa, dan olah intelektual. Bagi kami, literasi, yang kemudian oleh banyak pihak terlalu disempitkan pada membaca, bukan hanya perkara intelektualitas, kecerdasan yang pasif, semata kondisi kognitif individu. Membaca merupakan sebuah aktivitas dan pengalaman yang meramu ketiga hal tersebut. Jadi tidak semata mendistribusikan buku, memberikannya pada pembaca, meminta mereka untuk membaca, dan hore! sepertinya kegiatan kita sukses besar! Sehingga tidak ada perspektif yang menempatkan oraliti sebagai hal penting dalam membangun imajinasi, kreativitas, dan sikap kritis anak-anak.

Padahal, pengalaman empirik anak, baik melalui aktivitas bermain, diskusi, eksplorasi alam, riset sosial sederhana, akan menjadikan anak tidak semata pembaca yang kelak berada di menara gading pengetahuan tekstualnya, melainkan anak yang tumbuh dengan identitas, simpati dan empati, serta pemahaman yang lebih baik tentang lingkungannya.

adi, kembali pada pertanyaan di awal tulisan, apakah membaca itu benar-benar bermanfaat dan membuat cerdas? Kalau pun kita tetap bersikukuh mendukung pernyataan tersebut, mestinya kita juga getol mengkaji manfaat seperti apa yang didatangkan dari aktivitas membaca, indikator kebermanfaatannya, dan evaluasi kebermanfaatan tersebut.
Akhirnya, mari sejenak kita tutup buku untuk sekadar bermain atau berdiskusi kecil dengan anak-anak perkara hal-hal yang dirisaukan. Barangkali, sudut pandang anak-anak sebagai pembaca akan memberikan kita sebuah tawaran baru atau mungkin sudut pandang baru tentang hakikat membaca yang sesungguhnya.
Selamat membaca, Indonesia!


PEMANTIK DISKUSI


Bunda Yona memberikan pengantar mengenai bagaimana mendekatkan anak pada buku dan aktivitas membaca.
Akhir-ini orang tua getol memberikan aktivitas mengenai membaca buku kepada anak. Tetapi apakah benar, buku dan membaca itu baik, bisa membuat cerdas? Itu pertanyaan sederhananya. Dan aktifitas membaca buku seperti apa yang bisa membuat anak menjadi cerdas?


Bunda Yona memaparkan buku dan aktivitas pada anak, yang berkaitan dengan putrinya bernama Abinaya Ghina Jameela yang berusia 11 tahun dan sudah menerbitkan 4 karya. Abinaya sudah mempunyai tradisi membaca yang sangat bagus. Disini bunda Yona lebih memaparkan:

kapan sebaiknya orangtua harus mengenakan anak pada buku dan membaca?

Sebaiknya pengenalan dengan membaca buku di praktek an sejak dini. Dalam literasi, ada yang namanya emerging literasi. Ketika anak masih di dalam kandungan, orangtua sering menbacakan cerita. Bahkan ketika anak sudah lahir, sebelum tidur orang tua membacakan cerita pada anak. Dan sekarang gerakan yang lagi sering di lakukan adalah read aloud.

Ada 2 tujuan pengenalan aktivitas membaca:

  • Apakah pengenalan buku dan membaca bertujuan untuk membangun pengalaman membaca pada anak.
  • Buku dan membaca itu bertujuan untuk agar anak belajar membaca.

Ke 2 tujuan itu sangatlah berbeda.

Jadi sebelum orangtua “memaksa” anak untuk membaca buku, orangtua harus tau tujuannya apa dulu? Karena tujuan akan berakibat pada pendekatan kepada praktek yang dilakukan.

Kalau tujuannya adalah sekedar membangun pengalaman membaca, maka bisa di lakukan sejak awal. Contohnya membacakan sebuah buku pada anak, mengajak anak ke toko buku, anak melihat orangtua yang sedang membaca buku, anak melihat orangtua yang sibuk menulis. Itu adalah sebuah pengalaman pengenalan membangun pengalaman membaca bagi anak. Anak tidak di tuntut untuk paham membaca, atau tau apa yang dia baca.

Point yang paling penting, aktivitas harus menyenangkan, harus menarik minat anak. Dari situ kita bisa melihat grade usia. Apakah sama tehnik bed time stories yang orangtua gunakan untuk anak yang berusia 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, 7 tahun, tentu saja tidak.

Dalam praktek literasi, yang paling utama di tekankan bukan membaca. Melainkan orality atau kelisanan anak.

Pengalaman membaca, bisa di bangun lewat kelisanan, interaksi dan komunikasi, dengan orangtua memberikan stimulus. Jadi contohnya orangtua pegang buku, kemudian orangtua bisa menggambarkan momen tentang sampul buku. Tidak harus teksnya persis. Tetapi anak punya bayangan dengan melihat visual.

Makanya buku2 anak, tahap anak membaca awal, atau pra membaca itu visualnya menarik. Contoh, gambar yang bagus, karena anak baru melihat gambar. Disini orangtua bisa berimprovisasi.karena tujuannya bukan untuk mengajarkan anak membaca. Tetapi mengenalkan anak pada membaca. Orangtua kemudian membalik halaman demi halaman, mencoba menceritakan, dan anak sangat di harapkan untuk berinteraksi. Jadi ketika anak memberikan respon ketika orangtua membuka satu halaman, orangtua harus bisa untuk memberikan umpan balik lagi kepada anak. Sehingga anak menganggap bahwa kegiatan membaca itu menyenangkan. Bahwa ada komunikasi yang terbangun antara anak dengan orangtua.

Berbeda ketika tujuan memberikan buku atau praktek membaca untuk anak agar belajar membaca. Nah read aloud menurut bunda Yona, adalah pendekatan untuk mengajarkan anak membaca. Jadi tuntutan read aload lebih kepada bagaimana anak memahami tidak hanya visual, tetapi juga teks. Dengan mengulang teks, kemudian anak memperhatikan teks, itu adalah bentuk dari belajar membaca. Berbeda dengam pengalaman membaca. Jadi orangtua harus tau dulu, apa si tujuannya.

Usia berapa si anak sebaiknya belajar membaca?

Menurut bunda Yona, mulai dari kapanpun anak siap,jangan dipaksa.
Bunda Yona memberikan contoh anaknya, Abinaya mulai belajar membaca usia 5 tahun. Ketika Abinaya meminta di ajarin membaca. Sebelum itu, bunda Yona tidak pernah memaksa Naya untuk harus bisa baca. Dan bunda Yona termasuk orang yang tidak peduli pada tuntutan pada pendidikan formal. Seperti tuntutan anak masuk TK, sudah harus bisa calistung.

Bunda Yona selalu mendekatkan kepada tujuan Naya ke sekolah bukan untuk akademik, melainkan pengalaman sosial. Dan perkembangan psikologinya. Jadi Naya bisa belajar bagaimana memecahkan masalah dengan teman temannya. Bukan hal hal yang bersifat akademik.
Karena memang sebaiknya anak benar-benar di ajarkan membaca itu ketika usia 7 tahun. Ketika masuk sekolah dasar. Tapi sekarang sudah berbeda, masuk SD sudah harus bisa calistung. Padahal sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana membentuk karakter anak, bagaimana anak memiliki empathu dan simpati, membangun interaksi sosial pada emosionalnya.

Lalu hal lain yang harus di perhatikan ketika membaca, selama ini orangtua selalu jorjoran membelikan anak buku apa saja. Apa lagi sekarang banyak yang di jual online yang menarik dan bagus, impor, mahal, maka semuanya dibeli. Sementara orangtua tidak pernah tau, anak itu sukanya apa. Anak itu butuhnya apa. Selama ini banyak praktek literasi anak semata menjadi objek bukan subjek. Anak mengikuti kemauan pasar, anak mengikuti kemauan sekolah, anak mengikuti orangtua. Sementara anak tidak di berikan ruang untuk meyampaikan apa yang ia mau.

Padahal ketika bicara minat, minat baca otomatis itu sesuatu yang sifatnya intern bukan ekstern. Internal anak adalah apa kemauan anak. Selama ini masih sering di abaikan ketiak praktek literasi, orangtua sibuk dengan segala hal faktor eksternal. Buku yang baik distribusi buku, buku yang layak, tetapi pernah tidak orangtua bertanya kepada anak apa yang di sukai anak? Apa yang di butuhkan anak? Maka ketika orangtua mulai pengenalan , yang harus dikenali dulu adalah anak. Itu merupakan tugas orang tua,itu kewajiban orangtua. Apa yang disukai anak, buku seperti apa yang disukai anak cerita yang bagaimana yang disukai anak.

Pada dasarnya anak punya 4 kriteria besar yang di minati. Karena sifat egosentrisnya itu, anak suka hal hal yang sifatnya petualangan. Makanya anak sangat suka superhero. Anak suka hal hal yang dekat dengan dirinya. Itu harus diperhatikan.

Ketika di tanya, kenapa Naya membaca buku yang sampai ribuan halaman? Itu kan buku untuk 17 tahun ke atas. Bunda Yona memberikan itu karena tahu yang Naya butuhkan. Bunda Yona memahami, kemauan membaca Naya sudah sampai mana. Sehingga bunda Yona memberikan apa yang Naya butuhkan.

Orangtua harus tau kemampuan membaca anak sudah sampai pada tahap mana. Karena itu akan memengaruhi orangtua dalam pemilihan penyediaan buku untuk anak.
Dari sinilah orangtua harus tahu, anak bukanlah objek, melainkan subjek.

TANYA JAWAB DENGAN NARASUMBER

Pertanyaan no. 1

Bagaimana prosesnya membuang kebiasaan dari gadget ke buku. Usia berapa itu?
Pendampingan apa lagi yg hrs dilakukan, jika anak sudah menyukai buku dan beranjak remaja

Asna _Kebumen.

Jawaban:

Bunda Yona menceritakan, ketika Naya usia mendekati 5 tahun. Dan Naya di usia itu, masih seperti anak pada umumnya yang menghabiskan waktu dengan gadget. Itu semua karena orangtua yang terlalu sibuk dengan aktivitas pekerjaan di kantor. Sehingga waktu Bunda Yona sangat sedikit untuk Naya.

Maka inilah yang membuat Naya terabaikan. Pada tahun 2014, bunda Yona melanjutkan sekolah ke Bandung, dengan alasan bahwa ada habits Naya yang harus diubah. Dari situlah, waktu dengan Naya semakin banyak, karena kuliah hanya berapa sks saja. Dari situlah, bunda Yona bisa mulai melepaskan semua ketergantungan Naya dengan gadget.

Ada 2 hal yang bisa membuat Naya lepas dari gadget, yaitu konsisten dan tega.

Ketika mulai dari bangun tidur sampai Naya tidur lagi, tv tidak boleh menyala. Naya tidak boleh pegang hp. Bahkan orangtua nya juga tidak boleh melakukan itu semua. Jadi kalau mau telpon penting itu harus dilakukan di belakang Naya. Aturan berlaku untuk semua. Karena orangtua adalah figur bagi anak.

Dan yang kedua tega. Ketika peraturan sudah di buat itu harus berlaku meskipun anak tantrum, tidak ada excuse. Hal ini memang tidak mudah, karena bunda Yona juga mengami kegalauan hampir 1 bulan. Karena Naya tantrum sampai nangis teriak2. Tetapi itu harus tetap dilakukan, harus tega.

Ketika anak sudah lelah menangis, dia akan berhenti dengan sendirinya.
Kenapa orangtua harus konsisten dan tega? Karena kalau tidak, anak akan bisa membaca gerak orangtua. Jadi anak akan melihat konsistensi orangtua.

Sampai akhirnya melepas gadget menjadi hal yang tidak aneh bagi Naya. Karena sudah menjadi kbiasaan. Jadi Naya tau, tidak ada gunanya nangis sampai teriak karena konsistensi itu selalu berlaku.
Karena kalau tidak, disiplin itu tidak akan terbangun. Habit itu tidak akan bisa dibangun.

Yang ke 3 adalah alternatif. Ketika Naya tidak memegang gadget , pastilah banyak waktu yang kosong. Jadi apa yang harus orangtua lakukan terhadap Naya? Bunda Yona dan suami jadi lebih sering mengajak Naya ke alam. Aktivitas di luar rumah sangat mereka dahulukan. Dari main ke sawah, main ke sungai, nangkep ikan dll. Otomatis hal yang berhubungan dengan gadget akan dilupakan oleh Naya. Karena ternyata anak lebih menyukai aktivitas di luar rumah.

Pada dasarnya, sifat anak itu adalah eksplorasi bertualang.
Jadi kuncinya 2 hal, tega dan konsisten. Dan harus ada alternatif.
Yang ke 2, ketika anak sudah mempunyai tradisi membaca, pendampingan harus tetap di lakukan kepada anak sampai kapan pun. Hingga anak benar-benar sudah siap dan matang untuk bisa di lepas sendiri.
Anak selalu butuh figur sampai kapanpun. Ketika anak sudah suka membaca tetapi orangtua tidak suka membaca itu bisa merusak tradisi baca anak.

Makanya dalam praktek literasi, ekosistem yang saling mendukung itu sangat perlu. Jangan sampai tradisi anak yang baik rusak karena orangtua yang tidak bisa memberikan figur. Anak perlu diberi apresiasi. Walaupun dia sudah sangat suka membaca. Apresiasi itu perlu.
Apresiasi yang diberikan Bunda Yona kepada Naya adalah ketika Naya sudah selesai membaca, lalu di tanya buku apa yang sudah dibaca, bagaimana tanggapannya terhadap buku tersebut.

Anak juga sangat membutuhkan stimulus. Komunikasi kan stimulus yang logis, jadi ketika anak sudah sangat suka membaca, jangan sampai dia menjadi individualis. Meskipun anak sudah sangat suka dengan membaca, tetapi juga perlu dibangun sikap aware terhadap lingkungan sekitarnya.
Yang paling penting dari aktivitas membaca, bukan membacanya tetapi sebelum dan sesudah membaca.

Pertanyaan no. 2:

Buku seperti apa yg diberikan ibu yona utk menarik minat baca Ghina?

Jawaban:

Bunda Yona menjawab, itu dimulai dari minat. Awal Naya suka membaca adalah komik. Jadi mereka memberikan komik. Tapi hanya 2 jenis komik : Doraemon dan Conan. Karena Doraemon sangat futuristik sekali di jamannya. Dan Conan itu melatih daya analisa anak. Naya sangat suka sekali dengan 2 komik tersebut. Sampai kemana pun pergi, Naya selalu membaca komik itu.

Ketika tradisi Naya sudah ada, maka harus ada penjenjangan. Jangan sampai, ketika anak sudah bisa tahap membaca lancar, memberikan buku tahap awal membaca.

Ketika Naya sudah mempunyai kebiasaan membaca, maka semua komik itu di simpan oleh Bunda Yona di atas lemari. Lalu menggantinya dengan ensiklopedi. Dengan dialog di ensiklopedi lah, bunda Yona tahu bahwa Naya menyukai fauna. Dari situlah secara rutin memberikan Naya buku ensiklopedi fauna atau buku cerita tentang fauna. Ketika dirasa sudah cukup membaca ensiklopedi maka harus naik tangga lagi. Dari situlah, bunda Yona mulai mengenalkan karya sastra. Novel pertama yang dibaca Naya adalah The Lilttle Prince. Naya membacanya ketika belum Berusia 6 tahun.

Dan lewat karya sastra inilah tradisi baca kemampuan analisa, kepekaan lingkungan dan sosial Naya terbangun. Bunda Yona memberikan sistem bertingkat dalam pola bacaan Naya. Dan kenapa Naya bisa membaca buku ribuan halaman, ya karena di bangun perlahan sejak usia 5 tahun.

Pertanyaan no. 3:

Assalamualaikum. Saya Citra, saya memiliki anak laki-laki berusia 3 tahun.
Alhamdulillah dia terbiasa dibacakan buku sedari kecil, pertanyaannya bagaimana cara mengetahui anak balita bahwa buku bacaannya sudah dia pahami dan membuatnya peduli dengan lingkungan?

Jawaban:

Dilihat dulu tujuannya apa. Kalau usia 3 tahun dituntut untuk membaca, itu terlalu cepat. Jika tujuannya adalah membaca sekedar untuk pengalaman membaca atau untuk belajar membaca. Kalau untuk belajar membaca, wajar ditanya apakah anak paham.

Tapi kalau sekedar pengalaman membaca, orangtua tidak akan menuntut apakah anak paham. Yang penting anak tahu aktivitas menggunakan buku bersama orangtuanya adalah hal yang menyenangkan. Aktivitas itulah yang mampu membangun kedekatan fisik dan emosionalnya dengan orangtua. Karena itu hal yang susah jaman sekarang yang di dapat oleh anak

Karena gadget mengambil orangtua mereka. Itu yang harus ditekankan dalam pengalaman membaca. Ketika itu sudah tertanam dalam alam bawah sadar anak, dia mulai beranjak dewasa dia akan tahu membaca itu adalah hal yang paling menyenangkan. Karena orangtuanya punya waktu untuk dia. Jadi tidak perlu di tuntut apakah anak paham atau tidak, jika tujuannya adalah untuk pengalaman membaca. Berbeda jika tujuannya adalah untuk belajar membaca.

Carilah buku yang berdekatan dengan persoalan sehari-hari yang di hadapi oleh anak. Sebaiknya usia 3 tahun tidak usah jorjoran memaksakan anak untuk membacakan buku. Mulailah melakukan aktifitas orality atau bercerita. Karena dengan bercerita, orangtua akan lebih bisa mengukur pengetahuan anak.

Tapi, orangtua juga harus tau dulu, jangan hanya memaksa anak untuk tahu tapi orangtua sendiri belum paham.
Orangtua merupakan buku pertama bagi anak anaknya.

Pertanyaan no. 4:

Halo Mbak Yona.Bagaimana ceritanya Naya bisa menyukai buku dan menulis sampai bisa seperti sekarang ini?
Apakah ia pernah merasa bosan?

Rianti


Jawaban:

Pada dasarnya orality dan tekstual itu sejalan. Bercerita, membaca dan menulis itu sejalan dan saling melengkapi. Tidak ada yang lebih dahulu, tidak ada yang lebih dominan. Awal mula menulis yaitu dengan dibiasakan. Awal mula Naya menulis, itu tidak di tuntut untuk menjadi penulis.

Bunda Yona membiasakan Naya menulis, agar bisa mengingat kelak hal-hal yang dia alami dari hal kecil. Karena tidak semua ingatan bertahan lama.
Awal mulanya dari menulis di buku diary atau jurnal harian. Naya hanya di minta menuliskan apa saja yang menarik di hatinya dalam satu hari itu. Awalnya dari 1 baris, 2 baris, 3 baris.

Selanjutnya Naya diajak jalan keluar, tujuannya adalah agar Naya sensitif terhadap lingkungan. Misal ketika melihat pohon, lalu bermain tebak tebakan soal pendeskripsian pohon itu.

Dari situlah, Naya akan mulai memperhatikan sekitarnya. Dari momen seperti itu, maka kemampuan metagora Naya muncul.
Jadi antara latihan menulis diary, dan permainan sebagai alternatif untuk Naya meninggalkan gadget.

Pertanyaan no. 5:

Bagaimana tahapan-tahapan materi bacaan dari anak umur 1 tahun?bagaimana permainan pengaplikasian hasil membaca? apakah bisa diterapkan di semua daerah untuk semua umur? Atau permainan disesuaikan dengan materi? Kalau bisa, minta tipsnya agar ketika mendonasikan buku bacaan diharapkan bisa menerapkan apa yg Mbak Yona terapkan di Sahabat Gorga.


Jawaban:

Soal materi itu sangat kontekstual tergantung lingkungan, tergantung kondisi. Dilihat dulu dari perkembangan anak. Bukan dari selera pasar atau penerbit. Jadi anak sudah sampai tahap membaca apa? Apakah anak masih di tahap pemula atau sudah masuk ke tahap membaca lancar, atau tahap membaca analis dan kritis? Dan ini memengaruhi.

Anak sangat membutuhkan bacaan buku yang baik, karena ini fungsinya sama dengan makanan. Buku yang bergizi dan fungsinya untuk otak anak.
Orangtua bisa gunakan permainan yang ada disekitar untuk memantik bahan baca tersebut. Ketika mendonasikan buku harus dilihat dulu sasaran kita. Apakah untuk anak-anak atau dewasa.

Pertanyaan no. 6:

Kapan sebaiknya kita memberikan Buku atau Bacaan yang temanya sudah full tulisan (untuk Anak pembaca Mandiri)
Apakah tetap harus dibatasi tema dan isi?

Dian Utami

Untuk anak balita, adakah target berapa buku yang kita harus kita bacakan setiap bulannya?
Apakah harus mengikuti rentang umur?
Mis: Kita membacakan anak buku rentang 5 Tahun untk anak 2,5 Tahun?
Terima kasih sebelumnya.

Dian Utami

Jawaban:

Dilihat dari bacaan anak selama ini. Ketika anak sudah ke tahap membaca lancar, bisa dikurangi buku yang bergambar. Tidak harus buku yang tebal.
Orangtua juga harus berkomunikasi aktif dengan anak agar bisa tahu progres perkembangan baca anak. Untuk tema dan isi, tidak perlu pembatasan. Selama membaca masih terus dilakukan pendampingan.
Tidak ada batasan baca buku untuk anak. Jika anak sedang suka, maka bacakan. Tapi jika anak tidak suka, maka jangan paksakan. Ajak dulu bermain.

Yang terpenting adalah bukan berapa banyak buku yang dibaca. Tapi berapa paham anak dari apa yang dia baca. Berapa senang anak membaca buku. Maka tidak ada batasan berapa buku yang harus dibacakan setiap bulannya. Yang terpenting anak paham, senang dan suka

Pertanyaan no. 7:

Buku apa yang pertama dikenalkan ke anak usia dibawah 5tahun? Untuk masa proses menuju anak cinta baca, minimal sehari berapa lama kita membacakan? Naya di usia berapa bisa membaca dan memahami cerita?

Miftach, Solo


Jawaban :

Untuk anak usia di bawah 5 tahun masuk dalam tahap pra membaca. Jadi yang penting adalah buku berilustrasi cerah dengan teks minim. Buku semacam inilah yang bagus di kenalan untuk usia di bawah 5 tahun.
Tidak ada batas waktu, tetapi waktu yang terbaik untuk bercerita pada anak itu sebelum tidur.
Naya bisa memahami cerita sebelum Dia bisa membaca. Ini karena rutin setiap hari dikasih cerita. Sehari-hari entah di kantor atau di jalan. Naya bisa membaca di usia 5 tahun. Belajarnya hanya 30 menit setiap hari.

PENUTUP

Terimakasih banyak Hompimpaa, juga Bapak Ibu disini. Maaf jika ada salah ucap dan yang kurang berkenan. Semoga kita semua bisa menjadi fasilitator terbaik buat anak-anak.

Grow. Explore. Discover

  • Produk PO dan In Stock
  • Kulwap
  • Downloads
  • Hubungi Kami
  • Tentang Kami
Error validating access token: Session has expired on Saturday, 14-Nov-20 02:21:04 PST. The current time is Friday, 05-Mar-21 04:45:54 PST.

© 2020 All rights reserved​

Hompimpaa.id